Kamis, 20 Agustus 2009

(4)

Pada zaman Renaissane, dunia kedokteran berubah menjadi ilmiah dan periode riset pun dimulai sebagai akibat sekularisasi dan konsentrasi pendidikan di Universitas. Namun persoalan baru timbul sebab pada satu sisi ilmu kedokteran mustahil dapat maju tanpa riset yang ekstensif tetapi pada sisi lain, kegiatan riset yang banyak dilakukan para dokter dinilai cenderung merubah praktek pengobatan ke bentuk latihan mengatasi masalah yang pada waktu itu sudah mengundang berbagai kritik yang hebat.
Ilmu bukanlah segalanya. Bagaimana hubungan keseluruhan antara ilmu dan masyarakat itulah yang pada akhir abad itu mengalami perubahan besar. Oleh sebab itu seorang penulis masalah-masalah etik dari Edinburgh pada tahun 1772 menganjurkan agar profesi kedokteran yang bebas itu hanya dipegang oleh laki-laki yang sangat sopan, terhormat serta memiliki pemikiran paternalistik. Pada abad 19, profesi kedokteran yang dikaitkan dengan perguruan tinggi menjadi hak istimewa kalangan menengah ke atas. Hasilnya para dokter cenderung merasa super terhadap pasiennya dan situasi seperti itu berlangsung sampai pertengahan abad 20. Kemudian terjadilah perubahan sosial yang sangat besar. Pintu pendidikan tertier dibuka lebar-lebar guna menambah pemikiran ilmiah serta ketrampilan teknik bagi profesi kedokteran. Departemen Kesehatan dibuka di mana-mana sehingga merubah peranan dokter dari pembagi belas kasih menjadi pelayan masyarakat. Sejajar dengan perubahan struktural pada profesi ini, terjadi pula kemajuan individualisme di dalam masyarakat. Penghargaan terhadap hak-hak azasi pun berkembang sangat cepat. Akibatnya, norma-nonna yang ada mulai dipertanyakan, termasuk norma-nonna yang berlaku pada saat itu. Banyak di antaranya yang berkaitan erat dengan praktek kedokteran mulai ditolak. Gambaran dunia kedokteran pada abad 20 amat dipengaruhi oleh kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu dan teknologi sehingga mengakibatkan dunia ini menjadi reseach oriented serta amat dipengaruhi oleh perubahan masyarakat yang semakin hedonis dan materialistik. Di sisi lain, hukum berkembang lebih lamban dibanding kemajuan kedokteran dan masyarakat. Oleh sebab itu jauh sebefum Undang-Undang Aborsi diberlakukan, 2% wanita Aberdeen telah melakukan pengguguran kandungan setiap tahunnya. Banyak respirator (alat pernafasan buatan) dilepas sebelum memperoleh kejelasan mengenai kedudukan hukumnya. Inseminasi buatan dan bayi tabung juga mulai dipraktekkan secara luas sebelum disusun undang-undang yang dapat mengatasi masalah-masalah hukum yang timbul. Mungkin para filosof merasa senang dengan keterlambatan itu sebab mereka memang tidak senang dengan semakin meningkatnya campur tangan terhadap aturan alami. Namun membiarkan para dokter bekerja dalam situasi yang secara hukum tidak pasti akan dapat menyebabkan polarisasi serta pandangan emosional.

Tidak ada komentar: