Sabtu, 22 Agustus 2009

IV. FILSAFAT ETIKA DAN HUKUM KEDOKTERAN(1)

IV. FILSAFAT ETIKA DAN HUKUM KEDOKTERAN

Pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah bagaimana menentukan batasan di mana keputusan medik perlu diamati dan dikontrol oleh hukum? Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspektasi) profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional. Etika adalah salah satu kaidah yang mejaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional, dan terhormat. Di satu sisi, profesi kedokteran perlu tetap dipertahankan sebagai profesi yang harus mengatur dirinya sendiri dan harus bebas untuk memutuskan tindakan yang dianggap benar. Namun di sisi lain dipertanyakan, mengapa harus profesi itu sendiri yang mengatur segalanya sebab membiarkan profesi ini menentukan sendiri hidup matinya seseorang misalnya, dapat menimbulkan ancaman terhadap hak azasi manusia. Sesuai pandangan ini maka hukum, meskipun tak selalu benar, paling tidak kehadirannya akan dapat dijadikan salah satu alat untuk mengontrol profesi kedokteran. Dengan adanya hukum kesehatan tidak berarti norma etik tidak diperlukan lagi. Meskipun karena singkatnya dan sifatnya yang sangat umum sehingga norma etik itu sendiri sebetulnya menghadapi berbagai problematika dalam pelaksanaannya (problem aplikasi, konsistensi dan bahkan moral), namun etika kedokteran tetap diperlukan kehadirannya. Hukum dan etika mempunyai kedudukan yang sama di dalam masyarakat. Keduanya sama-sama merupakan alat untuk menilai perilaku manusia, sama-sama membuahkan pernyataan-pernyataan tentang apa yang benar dan apa yang salah serta tentang mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang.
Tetapi hukum dan etika berbeda dalam hal objek, otorita, tujuan dan sanksi. Objek hukum lebih menitikberatkan pada perbuatan lahir (uitwendig handelen) sedang etika lebih menitikberatkan pada perbuatan batin (inwendig handelen). Otorita hukum bersifat heteronom sedang etika bersifat otonom. Tujuan hukum adalah untuk kedamaian lahiriah sedangkan etika untuk kesempurnaan manusia, sehingga kadang-kadang hukum membolehkan apa yang dilarang oleh etika. Sanksi hukum bersifat paksaan sedang sanksi etika berupa pengucilan dari masyarakatnya. Dilihat dari perbedaan-perbedaan tersebut maka etika kedokteran tetap diperlukan untuk mendampingi hukum kedokteran. Bahkan etika kedokteran perlu terus dikembangkan dan dihayati oleh setiap dokter sebagai instrumen selfcontrol dan tidak hanya dijadikan bahan pemikiran yang bersifat teoritis belaka sebagaimana kecenderungannya pada akhir-akhir ini.

Tidak ada komentar: